(SUMSELNEWS-LAMPUNG) –
Pekerja Pers atau jurnalis baik cetak maupun online memang bisa dibilang pekerjaan yang penuh dengan tantangan dan risiko yang tidak mudah. Hal ini terbukti banyak nya sekali intimidasi atau ancaman dari berbagai pihak bahkan laporan karena merasa dirugikan nama baiknya.
Pers dalam hal mencari data atau informasi guna peberitaan ke publik seringkali terkendala apalagi terhadap pejabat yang merasa risih karena dugaan penyalahgunaan anggaran.
Ulasan Lengkap
1. Perlu kami jelaskan bahwa Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”) adalah lex specialis (hukum yang lebih khusus) terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) dan juga terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Sehingga dalam hal terdapat suatu permasalahan yang berkaitan dengan pemberitaan pers, peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah UU Pers. Terhadap hal-hal yang tidak diatur di dalam UU Pers, baru kita merujuk kepada ketentuan-ketentuan di dalam KUHPer atau KUHP.
Penegasan mengenai hal tersebut juga ditegaskan Hinca IP Panjaitan dan Amir Effendi Siregar dalam buku yang berjudul Menegakkan Kemerdekaan Pers: “1001” Alasan, Undang-Undang Pers Lex Specialis, Menyelesaikan Permasalahan Akibat Pemberitaan Pers. Mereka menulis bahwa UU Pers adalah ketentuan khusus yang mengatur tentang pelaksanaan kegiatan jurnalistik: mulai dari mencari, memilah, dan memberitakannya sampai ke mekanisme penyelesaian permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers (hal. xvii). Oleh karena itu, menurut mereka, dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya, wartawan tidak dapat dihukum dengan menggunakan KUHP sebagai suatu ketentuan yang umum (lex generali). Dalam hal ini berlakulah asas yang universal berlaku, lex specialis derogate legi generali. Ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan yang umum.
2. Mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap pemberitaan yang merugikan pihak lain, di dalam buku tersebut (hal. 147) Hinca dan Amir menjelaskan bahwa secara teknis hukum, perusahaan pers harus menunjuk penanggung jawabnya, yang terdiri dari 2 (dua) bidang yaitu, penanggung jawab bidang usaha dan penanggung jawab bidang redaksi. Mekanisme pertanggungjawaban yang dilakukan oleh wartawan diambilalih oleh perusahaan pers yang diwakili oleh penanggung jawab itu.
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 12 UU Pers yang mengatakan bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan “penanggung jawab” adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi.
3. Mekanisme penyelesaian yang dapat ditempuh dalam hal terdapat pemberitaan yang merugikan pihak lain adalah melalui hak jawab (Pasal 5 ayat [2] UU Pers) dan hak koreksi (Pasal 5 ayat [3] UU Pers). Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya, sedangkan hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Hinca dan Amir dalam buku tersebut juga menjelaskan bahwa mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers adalah sebagai berikut (hal. 149-152, sebagaimana kami sarikan dan sesuaikan dengan adanya kode etik wartawan yang baru):
1. Pertama-tama dengan menggunakan pemenuhan secara sempurna pelayanan Hak Jawab dan Hak Koreksi. Hal ini dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara langsung kepada redaksi yang dalam hal ini mewakili perusahaan pers sebagai penanggungjawab bidang redaksi wajib melayaninya.
Orang atau sekelompok orang yang merasa dirugikan nama baiknya akibat pemberitaan itu harus memberikan data atau fakta yang dimaksudkan sebagai bukti bantahan atau sanggahan pemberitaan itu tidak benar.
Implementasi pelaksanaan Hak Jawab tersebut dapat dilihat pada Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (“Kode Etik Jurnalistik”) (sebagai kode etik wartawan yang baru), yang menyatakan bahwa “Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa”.
2. Selain itu, pelaksanaan Hak Jawab dan Hak Koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers (Pasal 15 ayat [2] huruf d UU Pers). Dikatakan bahwa salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
3. Permasalahan akibat pemberitaan pers dapat juga diajukan gugatan perdata ke pengadilan atau dilaporkan kepada polisi. Namun demikian, karena mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers diatur secara khusus di UU Pers muaranya adalah pada pemenuhan Hak Jawab atau Hak Koreksi, maka pengadilan (dalam kasus perdata) maupun penyidik atau jaksa atau hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut tetap menggunakan UU Pers dengan muaranya adalah pemenuhan Hak Jawab dan atau Hak Koreksi.
Tanggapan dari pers atas Hak Jawab dan Hak Koreksi tersebut merupakan kewajiban koreksi sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 13 UU Pers. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Kewajiban koreksi ini juga merupakan bentuk tanggung jawab pers atas berita yang dimuatnya.
Pada praktiknya, penggunaan hak jawab ini dinilai berfungsi untuk menyelesaikan permasalahan secara damai, sebagaimana terdapat dalam artikel Hak Jawab Dimuat, Hendropriyono Tak Akan Tuntut The Jakarta Post.
Selain itu, Kode Etik Jurnalistik juga menyebutkan bahwa penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Pada sisi lain, pihak yang dirugikan oleh pemberitaan pers tetap punya hak untuk mengajukan masalahnya ke pengadilan, secara perdata atau pidana. Dalam perkara pidana menyangkut pers, hakim yang memeriksa perkara tersebut harus merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli (“SEMA 13/2008”). Sebagaimana ditulis dalam artikel Aparat Penegak Hukum Diminta Merujuk pada SEMA No. 13 Tahun 2008, berdasarkan SEMA No. 13 Tahun 2008 dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers, majelis hakim hendaknya mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktek.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers;
4. Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers.
Dikutip Sumber ; Hukumonline.com/14/12/20