Connect with us

Artikel

Libur Peringatan Isra Mi’raj 11 Maret, Mengulas Dimanakah Super Semar Asli 1966

Published

on

 

(Lampung.sumselnews.co.id)  – 11 Maret 2021, adalah hari libur peringatan Isra Miraj Nabi Muhammad. Sebelum revisi SKB 3 menteri, tanggal 12 Maret 2021 adalah cuti bersama dalam rangka Isra Mikraj Nabi Muhammad.

Hingga kemudian, pemerintah merevisi cuti bersama 2021 dari 7 hari menjadi 2 hari saja. Revisi cuti bersama 2021 ini dilakukan salah satunya karena kondisi COVID-19 di Indonesia belum membaik.

Isra Mi’raj adalah peristiwa saat Allah memberi keistimewaan kepada Nabi Muhammad untuk melakukan perjalanan mulia bersama malaikat Jibril mulai dari Masjidil Haram Makkah menuju Masjidil Aqsha Palestina.

Advertisement

Kemudian, dilanjutkan dari Masjidil Aqsha menuju Sidratil Muntaha untuk menghadap Allah, demikian dikutip NU Online.

Kata “isra” merujuk perjalanan dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Yerusalem, sedangkan “mi’raj” merujuk peristiwa perjalanan Nabi Muhammad ke langit untuk mendapatkan perintah salat lima waktu.

Penyebutan bebarengan “isra mi’raj” menjelaskan bahwa peristiwa ini terjadi dalam satu waktu.

Peringatan Supersemar 11 Maret

Selain libur Isra Miraj, 11 Maret juga merupakan peringatan Surat Perintah Sebelas Maret atau yang dikenal Supersemar, yang merupakan salah satu titik penting dalam perjalanan sejarah Indonesia.

Advertisement

Surat dari Presiden Sukarno tertanggal 11 Maret 1966 ini diterima oleh Letnan Jenderal Soeharto yang pada akhirnya justru menjadi ‘surat sakti’ yang berujung pada pergantian kekuasaan.

Supersemar berisi instruksi Presiden Sukarno kepada Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Letjen Soeharto untuk mengambil tindakan dalam pengamanan negara.

Situasi negara kala itu sedang rentan usai Gerakan 30 September 1965 (G30S) yang menyeret nama Partai Komunis Indonesia (PKI).

Menurut versi resmi, dikutip dari buku Kekuasaan Presiden Republik Indonesia (2006) karya Susilo Suharto, Presiden Sukarno sedang melantik Kabinet Dwikora yang Disempurnakan (Kabinet 100 Menteri) di Istana Merdeka, Jakarta, pada 11 Maret 1966 itu. Namun, presiden terpaksa meninggalkan sidang lebih cepat.

Sukarno diungsikan ke Istana Bogor dengan helikopter bersama Wakil Perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh. Sidang pelantikan ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena yang lantas menyusul ke Bogor.

Advertisement

Situasi tersebut dilaporkan kepada Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat. Soeharto –pengganti Ahmad Yani yang gugur dalam peristiwa G30S- tidak menghadiri sidang kabinet dengan alasan sakit tenggorokan, demikian dikutip dari buku Supersemar Palsu (2009) yang ditulis oleh A. Pambudi.

Soeharto kemudian mengutus Brigjen M. Jusuf, Brigjen Amirmachmud, dan Brigjen Basuki Rahmat untuk menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor.

Pada malam harinya, ketiga perwira tinggi AD itu berbincang dengan presiden terkait situasi yang terjadi. Kepada Presiden Sukarno, mereka menyampaikan pesan bahwa Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan. Namun, hal tersebut dapat dilakukan apabila presiden mengeluarkan surat tugas yang memberikan kewenangan bagi Soeharto untuk mengambil tindakan. Presiden Sukarno setuju dan dibuatlah Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar.

Surat ini, tulis Samsudin dalam buku Mengapa G30S/PKI Gagal? (2004), memberikan wewenang kepada Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat guna mengambil tindakan yang diperlukan dalam pemulihan keamanan dan ketertiban.

Hingga 2013, setidaknya ada 4 versi Supersemar yang disimpan oleh pihak Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

Advertisement

Keempat versi itu berasal dari tiga instansi, yakni 1 versi dari Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, 1 versi dari Akademi Kebangsaan, dan 2 versi dari Sekretariat Negara (Setneg). Yang menjadi pegangan selama Orde Baru adalah versi pertama dari Puspen TNI AD.

Lantas, manakah Supersemar yang asli dari keempat versi itu? Ternyata tidak ada alias palsu semua.

Hal tersebut dinyatakan langsung oleh mantan Kepala ANRI, M. Asichin, saat menjadi pembicara dalam Workshop Pengujian Autentikasi Arsip di Jakarta pada 21 Mei 2013.

“Dari bantuan pemeriksaan laboratorium forensik (Labfor) Mabes Polri, semuanya dinyatakan belum ada yang orisinal, belum ada yang autentik. Jadi, dari segi historis, perlu dicari terus di mana Supersemar yang asli itu berada,” ungkap M. Asichin kala itu seperti dikutip www.menpan.go.id.

Terkait Supersemar versi Puspen TNI AD yang selama ini dijadikan pegangan Suharto, M. Asichin menegaskan itu juga tidak asli.

Advertisement

Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa suksesi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto memang tidak terjadi seperti yang selama Orde Baru diyakinkan kepada masyarakat.

“Supersemar versi TNI AD itu sudah dibuat dengan teknologi mesin komputer. Padahal, tahun 1966 belum digunakan mesin komputer, masih menggunakan mesin ketik manual. Berarti dokumen itu palsu, dibuat setelah tahun 1970-an,” kata M. Asichin.*

 

Repost (tirto.id – adr/agu) 10/02/2021/ Penulis: Yandri Daniel Damaledo/Editor: Agung DH

 

Advertisement

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *