Lampung Selatan ,- Sidang perkara yang menimpa Kepala Desa (Kades) Tanjung Baru, Kec. Merbau Mataram, Lampung Selatan, Madsupi telah diputuskan oleh Hakim Pengadilan Negeri Kalianda, Selasa (18/05/2021).
Hukuman penjara 10 bulan dipotong masa tahanan dibacakan oleh Hakim Dodik Setyo Wijayanto, S.H yang diketuai Hakim, Dr. Handry Argatama Ellion, S.H, S.Fil, M.H didampingi Hakim Chandra Revolisa, S.H, M.H, melalui sidang webiner (online).
Menanggapi putusan tersebut, Kuasa Hukum Madsupi dari Law Firm Mawardi & Partners angkat bicara.
Ditemui awak Media di kantornya, Kuasa Hukum Madsupi, Rio Heri Saputra, S.H didampingi Peni Wahyudi, S.H, menjelaskan, bahwa putusan 10 bulan yang dibaca Hakim diluar prediksi kami.
Dijelaskannya, bahwa dakwaan itu alternatif. Ada 3 pasal, yang pertama pasal 14 UU peraturan pidana tahun 1946 tentang berita hoax yang menyebabkan keonaran. Pasal ke 2, masih di pasal yang sama dan yang ke 3 tentang UU ITE, mendistribusikan berita informasi elektronik yang bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Setelah kita melakukan proses sidang kita lihat tuntutan Jaksa, berkesimpulan yang terpenuhi adalah dakwaan pertama masalah berita bohong yang menyebabkan keonaran. Hanya pasal itu aja yang terpenuhi walaupun dalam pembelaan kami banyak hal-hal yang menurut kami tidak terpenuhi.
Terkait dakwaan berita bohong, bahwa yang menyebarkan ke masyarakat itu bukannya Matsupi, itu diperkuat juga oleh keterangan Ahli. Dan juga bahwa demo-demo yang mereka anggap keonaran itu fakta hukumnya dari massa-massa bayaran, yang dibayar oleh pelapor atau pendukungnya sendiri. Bahwa saksi juga menunjukkan demikian, dan juga kami sependapat dengan majelis hakim bahwa tidak ada keonaran bahwa demo tersebut bukan keonaran.
” Kami terkejut juga bahwa ketika Majelis Hakim juga sependapat dengan kami bahwa tuntutan menggunakan pasal 14 tentang berita bohong yang menyebabkan keonaran itu tidak terpenuhi, tapi Majelis Hakim justru berpendapat berbeda dengan Jaksa bahwa UU ITE terpenuhi,” ujar Rio
Lanjutnya, kalau dengan hukumannya, tuntutannya sama dengan Jaksa 10 bulan.
” Kalau untuk penerapan pasal tidak sesuai dengan tuntutan Jaksa
tentang hukuman yang 10 bulan. Ini yang digunakan UU ITE,” jelasnya.
” UU ITE ini “bermasalah”. Pemerintah saja mau merevisi ini, dan Kapolri menyatakan bahwa untuk UU ITE yang sekarang ini jangan buru-buru untuk di pidana. Bahkan Jaksa Agung menyatakan demikian juga,” ungkap Rio.
Hari ini, Selasa (18/05/2021) Majelis Hakim memutuskan hukumannya 10 bulan, menurut Rio itu cukup berat untuk menghukum seseorang dengan menggunakan pasal yang sekarang “sedang bermasalah”.
Ditempat berbeda, Direktur Utama Law Firm Mawardi & Partners, Dedy Mawardi, S.H menilai bahwa kasus yang menimpa kliennya (Madsupi-red) ada kaitannya dengan Politik Elektoral, Politik Pemerintahan, Politik Pemilihan, dalam hal ini adalah Pemilihan Kepala Desa tahun 2021.
Ada orang yang mungkin punya link modal, link kekuasaan yang mencoba untuk mempermainkan peran ini dengan cara memberikan peluang kepada mantan Kepala Dusun untuk melaporkan tentang sebaran WA Matsupi, diproses hukum, diperiksa di Kepolisian kemudian di tangkap, ditahan di kejaksaan kemudian di vonis di pengadilan.
” Ini menurut saya sebuah proses konspirasi yg terkait dengan Politik Elektoral. Dan sekarang terbukti,” ucapnya saat ditemui Awak Media di kediamannya, Selasa (18/05/2021).
Diuraikannya, pertama, setelah proses hukum ini berjalan, dan Matsupi ini ada di dalam (penjara), tiba-tiba Kepala Daerah (Bupati) mengeluarkan Perbup No. 12 tahun 2021 sebagai salah satu payung hukum untuk mengeluarkan SK Pemberhentian Sementara (Madsupi) dan Pengangkatan Plt. Kades Tanjung Baru.
” Prosedur Perbup ini tidak gampang harus ada ijin dari Pemerintah Propinsi, ada Konsultasi dengan Pemerintah Pusat (Kemendagri), tidak ada istilah Diskresi Kepala Daerah. Karena,
diskresi itu dalam bentuk apapun tidak di perbolehkan selagi tidak memenuhi 3 unsur syarat. Dan Perbup ini tidak memenuhi 3 syarat untuk diskresi,” ucap Dedy..
Yang kedua, proses hukumnya itu kelihatan sekali vonisnya. Kalau kami melihat bahwa ini Puncak Es Konspirasi Politik. Dihukum 10 bulan, tidak berdasarkan pada tuntutan Jaksa.
Di dalam tuntutan Jaksa itu, Matsupi dianggap melanggar pasal 14 UU No. 1 tahun 1946. ” Tidak ada itu tuntutan tentang UU ITE tapi kenapa hakim memutuskan 10 bln berdasarkan pelanggaran terhadap UU ITE. inikan aneh bagi saya,” katanya.
Jadi putusan ini adalah puncak es nya dari sebuah konspirasi untuk menjatuhkan Matsupi agar Matsupi tidak dapat bertarung lagi dalam Pilkades 2021 kedepan.
” Jadi udah mainan ini. Bukan lagi proses hukum murni. Saya sudah menduga-duga dari awal, dan ternyata terbukti. Dan kemudian kita sudah tau bahwa konspirasi itu tidak hanya kelasnya Desa, tapi juga Kecamatan, sampai Kabupaten,” ucap Dedy.
Menurut Dedy Mawardi, kliennya harus banding. Kita akan minta kepada Pengadilan Tinggi untuk mengkoreksi Keputusan Hakim dari Pengadilan Kalianda yang menghukum orang di luar tuntutan.
” Apa salahnya pak Matsupi ini kepada negara? Tidak ada. Dia hanya memberikan himbauan kepada bawahannya untuk patuh, untuk tidak melakukan hal yang sama seperti kadus yang lama,” jelasnya.
” Yang menjadi pertanyaan, Matsupi ini siapa? dia bukan Teroris. Sedangkan teroris saja di hukum ada pertimbangan dan pembelaan, masa ini pembelaan kita tidak di pertimbangkan. Matsupi ini hanya orang yang ketiban sial menggunakan medsos,” ujar Dedy.
Tambahnya, dari apa yang kita lihat, masa pertimbangan hukum yang meringankan cuma sopan, tidak pernah di hukum, upaya pembelaan kami itu apa?
Kalau hakim itu konsisten menilai berdasarkan keadilan dan kebenaran, materi yang disampaikan di pengadilan itu pasti keputusannya berprikemanusiaan.
Yang kita bantah dalam pembelaan kita itu hanya membantah tuntutan jaksa pasal 14, karena pasal UU ITE nya tidak di berlakukan oleh jaksa.
Menurut kita bantahan itu bisa membuktikan bahwa tuduhan kepada Matsupi itu yang di anggap melanggar pasal 14 itu di anggap gugur.
” Menurut saya dalam praktek hukum seharusnya hakim itu memutuskan berdasarkan tuntutan jaksa, kemudian memperingankannya itu berdasarkan pembelaan saksi yang di ajukan oleh kita. Kalau semua pertimbangan hukum kami kemudian saksi-saksi tidak di jadikan pertimbangan hukum, siapa Matsupi, masa dia harus divonis suka-sukanya hakim.ini ada apa?
Sementara saksi saksi yang diajukan jaksa itu sangat dipertimbangkan, karna dia wajib memenuhi unsurnya. Tapi kalau dia mengikuti pertimbangan hakim seharusnya dia di vonis berdasarkan UU Pasal 14. Tapi ini tidak,
pertimbangan Jaksa dilihat tapi keputusannya bukan berdasarkan pasal 14,” pungkas Dedy.
Sementara itu, Ketua LSM Pembinaan Rakyat Lampung (PRL), Aminudin mengatakan, bahwa dari awal dilaporkannya Kades Tanjung Baru, Madsupi, dirinya sudah mencium ada aroma “busuk” untuk menyingkirkan Madsupi dari kancah Pilkades 2021 yang dilakukan oleh Oknum-oknum Pemerintahan setempat dan Oknum Penegak Hukum.
Berbagai cara dilakukan, dari mulai pelaporan, aksi demo di depan rumah Madsupi, penyelidikan dan penyidikan, penahanan hingga terakhir putusan Majelis Hakim.
” Otonomi Desa yang mempunyai UU Desa sudah dikebiri. Pemberhentian sementara dan pengangkatan Plt dari ASN Kecamatan dengan berpayung hukum Pergub No. 21 Tahun 2021 yang belum difasilitasi (dikaji) oleh Biro Hukum Provinsi, merupakan salah satu indikasi dugaan keterlibatan Pemkab Lampung Selatan untuk “menyingkirkan” Madsupi,” ujar Aminudin.
Ditambahkannya, pengangkatan kembali 2 orang Kepala Dusun (Kadus) yang telah mengundurkan diri saat Madsupi menjadi Kepala Desa, diduga untuk memuluskan “calon Kades titipan” dari “Sang Aktor Pemilik Modal” untuk menggantikan posisi Madsupi.
Ia mengharapkan Keluarga Madsupi melalui Kuasa Hukumnya untuk terus berjuang mencari keadilan ditingkat Pengadilan Tinggi. (*)
Sumber realise : Forum Pers Independent Indonesia ( FPII ) Prov Lampung.