Terdapat tesis di sebagian kaum muslimin bahwa ungkapan dzikir atau kalimah thayyibah “Subhanallah” sering tertukar dengan ungkapan “Masya Allah”. Dalam hal ini adanya anggapan bahwa kebiasaan di masyarakat, dzikir “Subhanallah” selalu diucapkan jika seseorang merasa kagum, sementara ucapan “Masya Allah” jika melihat keburukan. Kebiasaan ini dianggap “salah kaprah”, dan bahwa yang seharusnya adalah ungkapan dzikir “Masya Allah” yang bermakna “hal itu terjadi atas kehendak Allah”, dan dzikir Subhanallah tepatnya digunakan untuk mengungkapkan “ketidaksetujuan atas sesuatu”.
Menurut pendapat tersebut, bahwa dzikir “Masya Allah” seharusnya diucapkan bila seseorang melihat hal yang baik dan indah, sebagai ekspresi penghargaan sekaligus pengingat bahwa semua itu bisa terjadi hanya karena kehendak-Nya. Masya Allah diucapkan bila seseorang melihat yang indah-indah karena keindahan atas kuasa dan kehendak Allah Ta’ala.
“Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “MAASYAA ALLAH, LAA QUWWATA ILLAA BILLAH (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.” (QS. Al-Kahfi/18: 39)
Adapun ucapan Subhanallah diucapkan saat mendengar atau melihat hal buruk. Ucapan Subhanallah sebagai penegasan: “Allah Mahasuci dari keburukan tersebut”. Sebagai contoh dalam Al-Quran, ungkapan Subhanallah digunakan dalam menyucikan Allah dari hal yang tak pantas (hal buruk), yakni dari memiliki anak. Jadi, kesimpulan tesis tersebut bahwa ungkapan Subhanallah dianjurkan setiap kali seseorang melihat sesuatu yang tidak baik, bukan yang baik-baik atau keindahan. Ucapan itu menegaskan bahwa Allah Swt Mahasuci dari semua keburukan tersebut.
(Darmawan)
SUMBER